TEMPO.CO, Jakarta - Inggris terus melangkah dengan rencananya membangun stasiun pembangkit listrik fusi nuklir--replika reaksi yang ada pada Matahari--pertama di dunia. Terbaru dari rencana itu adalah pengumuman pencarian lahan seluas lebih dari 100 hektare untuk situs pembangkit itu nantinya yang bisa dikoneksikan dengan jaringan listrik konvensional.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson pada tahun lalu telah memberi komitmen mengucurkan tambahan 200 juta Poundsterling untuk proyek yang dikenal sebagai Spherical Tokamak for Energy Production (STEP) tersebut. Proyek ini mirip dengan yang belum lama hangat diberitakan sebagai Matahari buatan Cina--karena pembangkit listrik ini bekerja meniru reaksi fusi nuklir di bintang induk untuk planet Bumi dkk itu.
Baca juga:
Generasi Terbaru Matahari Buatan Cina Tokamak HL-2M Dioperasikan
Badan Energi Atom Inggris, badan pemerintah yang menaungi proyek STEP, berharap konstruksi bisa dimulai sekitar 2030, dengan stasiun pembangkit listriknya beroperasi secepatnya 2040. Ian Chapman, dari badan itu, mengatakan STEP mungkin akan menghabiskan anggaran seluruhnya 2 miliar Poundsterling atau setara lebih dari Rp 18 triliun.
Nilai tersebut setara dengan pembangunan Joint European Torus (JET), reaktor fusi nuklir eksisting di Inggris yang dibangun pada 1980-an dan didanai internasional. Bedanya, STEP adalah proyek Inggris sepenuhnya. “STEP adalah sebuah program yang sangat ambisius: akan menjadi yang terdepan, yang pertama di dunia untuk menghasilkan sebuah prototipe pembangkit listrik fusi, dan kemudian mengekspornya ke dunia," kata Chapman.
Pekan di awal Desember ini, Badan Energi Atom Inggris mengumumkan kebutuhan lahan untuk proyek STEP. Ini setelah di wilayah markasnya di Culham, Oxfordshire sudah penuh permukiman. Nominasi rencananya ditunggu sampai Maret tahun depan, sebelum dipilih satu situs pada akhir 2022.
Inggris menempatkan proyek jenis baru pembangkit listrik ini sebagai pijakan penting dalam upayanya mencapai target emisi nol pada 2050. Tapi upaya menuju ke sana jelas tidak mudah. Francis Livens dari University of Manchester, menilai ongkos dan tenggat waktu itu sebagai, "Ambisius tapi tidak meyakinkan."
Foto dokumen yang diabadikan pada 19 Juli 2020 ini memperlihatkan para staf Southwestern Institute of Physics di China National Nuclear Corporation (CNNC) sedang bekerja di lokasi instalasi HL-2M Tokamak, "matahari buatan" generasi baru milik China, di Chengdu, Provinsi Sichuan, China barat daya. HL-2M Tokamak mulai dioperasikan pada Jumat (4/12) dan berhasil melakukan pelepasan plasma pertamanya, menurut CNNC. Dirancang untuk meniru reaksi alami yang terjadi di matahari menggunakan gas deuterium dan hidrogen sebagai bahan bakar, aparatus di Chengdu ini akan menghasilkan energi bersih melalui reaksi fusi nuklir terkendali, sebut CNNC. (Xinhua/Southwestern Institute of Physics CNNC)
Yang jelas, tantangan terbesar datang dari teknik mereproduksi cara Matahari membangkitkan energinya--dengan reaksi fusi hidrogen untuk menghasilkan helium. Proses itu dinilai butuh energi yang sangat besar untuk pemanasan dan mengendalikan hidrogen dengan magnet raksasa. Belum ada reaktor fusi yang memproduksi energi lebih besar daripada yang dikonsumsinya.
Baca juga:
Hayabusa2 Jepang Sukses Kirim Sampel Batuan Utuh Asteroid ke Bumi
Sejauh ini para ahli berkiblat kepada proyek reaksi fusi terbesar di dunia milik Proyek Reaktor Eksperimental Termonuklir Internasional (ITER) di Prancis yang rencananya akan diaktifkan pada 2025. Matahari buatan di sana diharapkan mampu mengkonversi konsumsi energi listrik 50 MW menjadi produksi 500 MW.